Well, in my case, sampai ke negeri Arab!
Ada yang bilang, pepatah “tuntutlah ilmu sampai ke negeri cina” bisa diartikan secara harfiah… dalam arti Cina memang ber-budaya tinggi jadi layak dipelajari. Hmmm.. maybe, tapi buat aku pepatah itu seperti bilang “take your chances, go out from your safety zones”
Konon, pepatah diatas diucapkan oleh nabi Muhammad SAW. Kenapa beliau bilang begitu? Hanya Tuhan yang tahu pasti jawabannya, tapi kalau dipikir-pikir… mungkin juga karena sang Nabi ingin para kaumnya untuk menjelajah dunia. Tidak hanya untuk belajar ilmu pasti, tapi lebih untuk belajar tentang ilmu manusia. Untuk mengerti budaya dan pola pikir orang lain dan eventually, thinking “out of the box”.
Pernah nih, karena saking ruwetnya nih pikiran ngadepin orang-orang yang sulit, aku browsing website-website tentang komunikasi. Bagaimana caranya bisa menyampaikan sesuatu yang bisa dipahami oleh orang lain. Jujur, aku desperate banget. Pertama, kebentur masalah bahasa. Kayaknya nih, setiap kali ngobrol sama orang lain selalu adaaaaaaaaa aja istilah baru. Kalau udah gitu, mentok jadi nanya balik, “Sorry? I didn’t get what you mean…,” ! Aduuh.. keliatan banget kalau katrok! Huehehehe..
Kedua, aku tuh selalu ‘tergoda’ untuk menjelaskan secara detail. Lawan bicara? Sukses tidur! Tapi ternyata susaaah banget ngontrol kebiasaan yang satu ini. Nggak heran kalau orang-orang pada kabur waktu aku ajak ngomong! Huahaha…
Ketiga, nada bicaraku tuh selalu rendah. Gimanapun aku berusaha terdengar riang…. It never happened! Selalu low tone, pelan, lamaa…. Masalahnya, otakku selalu overload. Waktu ngomong, otakku sibuk mroses cari kata-kata bahasa Inggris, masih juga aku paksa membuat kalimat yang padat dan mengena. Ancur ancur lo otak!
Aku kira nih, ketiga hal itu yang bikin komunikasiku nggak lancar. Ternyata, salah besar! Katanya si website komunikasi:
“Bagaimana anda dapat berkomunikasi kalau anda tidak dapat MENDENGARKAN?”
Catat: MENDENGARKAN. Gubraaakk! Jadi dari tadi aku belajar ngomong tuh sia-sia toh?
Tapi emang.. that’s true. Waktu orang lain ngomong, otakku justru sibuk mempersiapkan jawaban. Apalagi kalau yang ngajak ngomong pak Manager, otak sibuk mikir bahasa & kalimat, tangan sibuk meremas-meremas meredakan gugup, jadinya:
Pak Manager: “Hani, komputernya si A tuh memory nya berapa ya?”
Hani: “eeh.. anu pak, tuh computer udah bobrok emang. Pantesan pelan banget,”
Pak Manager (berusaha sabar): “Iya emang… tapi memory berapa kapasitas nya?”
Hani: “hard disknya sih lumayan gede pak, 350 GB”
Pak Manager (gerem banget): “memorryyyy!!”
Hani: “eh ya… 2 GB pak, 2 keping 1 GB an, DDR2,” (akhirnya ngasih info yang bener, tapi terlalu detail..)
Terus, apa hubungannya sama “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina” tadi, dodool?
Hubungannya begini. Bayangkan, orang Arab (di jaman Nabi) sampai ke negeri Cina. Di jaman itu jangankan internet, tipi pun belum masuk desa. Berarti nggak banyak kesempatan buat si Arab untuk belajar bahasa Cina. Tulisan Arab nggak punya huruf “C” , tulisan China terlalu banyak huruf “C”. Orang Arab baca dari kanan ke kiri, orang Cina baca dari atas ke bawah (seperti buku kitab pendekar Cina di film Sin Tiau Eng Hiong). Orang Arab matanya belok, orang Cina matanya sipit. Orang Arab keling, orang Cina putih bersih.
Bayangkan:
Arab: “Hi Fulan, Ane mau beli roti bundar ini. Berapa fulus?”
Cina (ngomong ke temennya): “Ni olang aneh, bakpau kok dibilang bulus..” …
Ok, aku terlalu detail lagi. Kembali ke pokok masalah.
The point is, untuk menuntut ilmu di negeri Cina, si Arab harus belajar budaya dan pola pikirnya orang-orang Cina dulu kan? Semakin dia mempelajari budaya mereka, pengetahuan dia bertambah, pandangannya menjadi luas. Dia jadi paham bahwa manusia itu ditakdirkan “berbeda” dan dia jadi paham bahwa untuk berkomunikasi dan mengambil ilmu dari orang lain, dia harus belajar MENDENGARKAN.
Sudah jelas korelasinya? Alhamdulillah. Kalau belum jelas, pikirkanlah dan tulislah di comment. Kita diskusi!
Yalla!!